Tuesday, October 29, 2013

Ciyus, Miapah?


[Kaliurang, 07.01 WIB]

Masih ingat sama cita-cita waktu kecil kita dulu? Pasti ada yang jawab pengen jadi dokter. Alasannya biar bisa nyembuhin orang sakit. Diliatnya keren dan cakep aja pake jas putih-putih sambil bawa stetoskop kemana-mana. Trus kalau ada anak yang nakalin, tinggal kita suntik aja, pasti nangis.
Bagi anak laki-laki, cita-cita jadi polisi atau tentara itu juga tidak kalah cool. Udah gagah, punya pistol pula yang bisa dipake buat nembak orang jahat. Polisi adalah sosok yang disegani dan dipuja seperti pahlawan karena bisa membela kaum yang lemah. Kata mereka sih gitu.

Sebagian lagi ada yang pengen jadi guru, yang ini, entah karena tidak punya referensi dan opsi lain, terpengaruh profesi orang tuanya, atau karena ikut-ikutan teman, yang pasti cita-cita menjadi guru termasuk jawaban populer. Enak kalau jadi guru, bisa disayang sama murid-muridnya, bisa bikin pinter, dan jadi idola sekelas.
Seiring waktu berjalan, keinginan dan cita-cita masa kecil bisa saja berubah, tidak lagi menjadi fokus utama. Yang waktu kecilnya bercita-cita menjadi dokter, eh malah kuliah di jurusan sastra inggris, namun tidak sedikit pula yang konsisten, persisten dengan tujuan awalnya. Bersyukurlah bagi kalian yang sejak kecil telah menemukan ‘panggilan jiwa’ dan ‘rute’ yang akan ditempuh ketika dewasa.
Bener nih mau jadi dokter, polisi, atau guru? Ciyus???
Tidak masalah apakah saat ini kalian telah berprofesi sebagai dokter, polisi, guru, atau ibu rumah tangga. Bukan persoalan juga sih apakah profesi itu adalah cita-cita kalian semasa kecil atau cita-cita ‘darurat’ ketika dewasa. Yang lebih penting dari pencapaian itu adalah bagaimana kalian berproses, bagaimana kalian menjalani setiap detik waktu perjuangan kalian. Tempaan dan ujian ketika menuju cita-cita itulah yang membedakan kalian dengan calon dokter, calon polisi, dan calon guru yang lain. Profesi boleh sama, tetapi kualitas diri pasti akan berbeda pada setiap orang. Walaupun  sama-sama lulusan sekolah top dengan predikat cum laude, siswa yang benar-benar berjuang dengan sepenuh jiwa raga tentu lebih mumpuni dan berkualitas dibandingkan dengan yang karbitan dan pakai jalan pintas.
Keseriusan itu tidak hanya ngotot melalui lisan. Buktikan dengan konsistensi tindakan. Niatin dulu yang serius. Cari informasi sekolahnya harus serius, jangan asal pilih sekolah, jangan asal pilih jurusan, kalau sudah nyasar susah baliknya. Pilih tempat belajar yang memang bisa mendidik dengan baik dan memfasilitasi dengan lingkungan yang kondusif. Kalau sudah diterima di sekolah idaman, seriuslah menjalani pendidikan, fokus, dan jaga semangat agar selalu diatas garis batas. Pertahankan.
Persisten, artinya gigih dan ulet, tidak mudah menyerah oleh rintangan dan berani menghadapi setiap tantangan adalah modal utama untuk membentuk mentalitas kita menjadi orang yang tegar dan tidak mudah putus asa menghadapi berbagai situasi dan kondisi, termasuk menghadapi kegagalan. Ingat ya, hanya orang-orang yang mau berjuang dan memiliki daya tahan yang tinggi yang nantinya berhasil mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Ciyus mau jadi dokter, polisi, guru? Miapah?
Motivasi dan tujuan cita-cita kita apa sih sebenarnya? Jujur karena pangilan hati untuk menolong orang yang membutuhkan? Atau hanya panggilan orang-orang yang ada di sekitar kita kemudian ikut-ikutan biar gaya? Miapah?
Kalau mau jadi dokter ya jadilah dokter yang memang mendedikasikan dirinya untuk orang yang sakit, bukan rumah sakit. Tidak peduli apakah pasiennya adalah orang miskin atau anak jendral. Yang namanya pasien ya pasien, diobati dan dirawat. Susah kalau dari awal otaknya sudah disetting untuk cari materi dan biar cepet kaya. Kalau mindset dokter seperti itu semua, bagaimana nasib orang-orang yang tinggal di pedalaman, daerah pelosok, yang jauh dari peradaban urban? Bagaimana mereka mendapatkan hak untuk mengakses kesehatan kalau semua dokter pengennya praktik di kota besar semua?
Sama juga kalau kita bercita-cita menjadi polisi. Jadilah polisi yang tegas menindak setiap pelanggaran hukum. Siapapun itu pelanggarnya, mau artis terkenal, public figur, atau anak menteri, jika terbukti bersalah ya tetap harus dihukum. Taat pada peraturan perundang-undangan, dan melaksanakan tugas sesuai dengan kode etik yang berlaku. Bukan malah sebaliknya, menyalahgunakan profesi untuk melakukan tindak kekerasan dan penindasan.
Salah satu cita-cita paling mulia adalah menjadi guru (pendidik). Mengapa saya bilang paling mulia, karena profesi guru sangat dekat dengan ilmu pengetahuan, dan penghargaan Islam terhadap guru dan ilmu pengetahuan sangat tinggi. Kedudukan mulia ini hendaknya dipahami bagi setiap pendidik, bukan hanya guru di sekolah formal, tetapi oleh siapapun yang berprofesi sebagai penyampai ilmu dan pengetahuan pada orang lain: motivator, fasilitator, penceramah, mentor, dll. Menjadi pendidik itu bisa dimanapun dan kapanpun, tidak harus menunggu formasi cpns untuk menjadi guru, atau baru mau ngajar kalau sudah jadi dosen di universitas bonafit. Ini sama saja punya sawah sendiri tapi malah sibuk mencangkul di ladang orang lain.
Tidak ada cita-cita yang ketinggian ataupun kerendahan, karena setiap orang punya prosesnya sendiri yang akan mereka jalani. Proses itulah nantinya yang akan menentukan kualitas hasil akhirnya. Dan, setiap tujuan pasti memiliki alasan, sesederhana apapun itu, yang akan menjadi motif setiap tindakan. Seperti apa kita nantinya, apa hakikat tujuan kita sejatinya, pasti akan kelihatan diakhirnya. Orang yang berorientasi kedudukan, materi, atau yang memang benar-benar tulus menjalani pengabdian tidak akan akan pernah terlihat sama. Dan hanya mereka yang ikhlas menjadi pelayan kebaikan yang akan beroleh pahala kebaikan pula serta keberkahan dalam kehidupannya.

No comments:

Post a Comment