[Kaliurang, 07.01 WIB]
Masih ingat sama cita-cita waktu
kecil kita dulu? Pasti ada yang jawab pengen jadi dokter. Alasannya biar bisa nyembuhin
orang sakit. Diliatnya keren dan cakep aja pake jas putih-putih sambil bawa
stetoskop kemana-mana. Trus kalau ada anak yang nakalin, tinggal kita suntik
aja, pasti nangis.
Bagi anak laki-laki, cita-cita
jadi polisi atau tentara itu juga tidak kalah cool. Udah gagah, punya pistol
pula yang bisa dipake buat nembak orang jahat. Polisi adalah sosok yang
disegani dan dipuja seperti pahlawan karena bisa membela kaum yang lemah. Kata
mereka sih gitu.
Sebagian lagi ada yang pengen
jadi guru, yang ini, entah karena tidak punya referensi dan opsi lain, terpengaruh
profesi orang tuanya, atau karena ikut-ikutan teman, yang pasti cita-cita
menjadi guru termasuk jawaban populer. Enak kalau jadi guru, bisa disayang sama
murid-muridnya, bisa bikin pinter, dan jadi idola sekelas.
Seiring waktu berjalan, keinginan
dan cita-cita masa kecil bisa saja berubah, tidak lagi menjadi fokus utama. Yang
waktu kecilnya bercita-cita menjadi dokter, eh malah kuliah di jurusan sastra
inggris, namun tidak sedikit pula yang konsisten, persisten dengan tujuan
awalnya. Bersyukurlah bagi kalian yang sejak kecil telah menemukan ‘panggilan
jiwa’ dan ‘rute’ yang akan ditempuh ketika dewasa.
Bener nih mau jadi dokter,
polisi, atau guru? Ciyus???
Tidak masalah apakah saat ini
kalian telah berprofesi sebagai dokter, polisi, guru, atau ibu rumah tangga.
Bukan persoalan juga sih apakah profesi itu adalah cita-cita kalian semasa
kecil atau cita-cita ‘darurat’ ketika dewasa. Yang lebih penting dari pencapaian
itu adalah bagaimana kalian berproses, bagaimana kalian menjalani setiap detik
waktu perjuangan kalian. Tempaan dan ujian ketika menuju cita-cita itulah yang
membedakan kalian dengan calon dokter, calon polisi, dan calon guru yang lain.
Profesi boleh sama, tetapi kualitas diri pasti akan berbeda pada setiap orang.
Walaupun sama-sama lulusan sekolah top
dengan predikat cum laude, siswa yang benar-benar berjuang dengan sepenuh jiwa
raga tentu lebih mumpuni dan berkualitas dibandingkan dengan yang karbitan dan
pakai jalan pintas.
Keseriusan itu tidak hanya ngotot
melalui lisan. Buktikan dengan konsistensi tindakan. Niatin dulu yang serius. Cari
informasi sekolahnya harus serius, jangan asal pilih sekolah, jangan asal pilih
jurusan, kalau sudah nyasar susah baliknya. Pilih tempat belajar yang memang
bisa mendidik dengan baik dan memfasilitasi dengan lingkungan yang kondusif. Kalau
sudah diterima di sekolah idaman, seriuslah menjalani pendidikan, fokus, dan
jaga semangat agar selalu diatas garis batas. Pertahankan.
Persisten, artinya gigih dan
ulet, tidak mudah menyerah oleh rintangan dan berani menghadapi setiap
tantangan adalah modal utama untuk membentuk mentalitas kita menjadi orang yang
tegar dan tidak mudah putus asa menghadapi berbagai situasi dan kondisi,
termasuk menghadapi kegagalan. Ingat ya, hanya orang-orang yang mau berjuang
dan memiliki daya tahan yang tinggi yang nantinya berhasil mencapai apa yang
menjadi tujuan hidupnya.
Ciyus mau jadi dokter, polisi, guru?
Miapah?
Motivasi dan tujuan cita-cita
kita apa sih sebenarnya? Jujur karena pangilan hati untuk menolong orang yang
membutuhkan? Atau hanya panggilan orang-orang yang ada di sekitar kita kemudian
ikut-ikutan biar gaya? Miapah?
Kalau mau jadi dokter ya jadilah
dokter yang memang mendedikasikan dirinya untuk orang yang sakit, bukan rumah
sakit. Tidak peduli apakah pasiennya adalah orang miskin atau anak jendral.
Yang namanya pasien ya pasien, diobati dan dirawat. Susah kalau dari awal
otaknya sudah disetting untuk cari materi dan biar cepet kaya. Kalau mindset
dokter seperti itu semua, bagaimana nasib orang-orang yang tinggal di
pedalaman, daerah pelosok, yang jauh dari peradaban urban? Bagaimana mereka
mendapatkan hak untuk mengakses kesehatan kalau semua dokter pengennya praktik
di kota besar semua?
Sama juga kalau kita bercita-cita
menjadi polisi. Jadilah polisi yang tegas menindak setiap pelanggaran hukum. Siapapun
itu pelanggarnya, mau artis terkenal, public figur, atau anak menteri, jika
terbukti bersalah ya tetap harus dihukum. Taat pada peraturan
perundang-undangan, dan melaksanakan tugas sesuai dengan kode etik yang
berlaku. Bukan malah sebaliknya, menyalahgunakan profesi untuk melakukan tindak
kekerasan dan penindasan.
Salah satu cita-cita paling mulia
adalah menjadi guru (pendidik). Mengapa saya bilang paling mulia, karena
profesi guru sangat dekat dengan ilmu pengetahuan, dan penghargaan Islam
terhadap guru dan ilmu pengetahuan sangat tinggi. Kedudukan mulia ini hendaknya
dipahami bagi setiap pendidik, bukan hanya guru di sekolah formal, tetapi oleh
siapapun yang berprofesi sebagai penyampai ilmu dan pengetahuan pada orang
lain: motivator, fasilitator, penceramah, mentor, dll. Menjadi pendidik itu
bisa dimanapun dan kapanpun, tidak harus menunggu formasi cpns untuk menjadi
guru, atau baru mau ngajar kalau sudah jadi dosen di universitas bonafit. Ini
sama saja punya sawah sendiri tapi malah sibuk mencangkul di ladang orang lain.
Tidak ada cita-cita yang
ketinggian ataupun kerendahan, karena setiap orang punya prosesnya sendiri yang
akan mereka jalani. Proses itulah nantinya yang akan menentukan kualitas hasil
akhirnya. Dan, setiap tujuan pasti memiliki alasan, sesederhana apapun itu,
yang akan menjadi motif setiap tindakan. Seperti apa kita nantinya, apa hakikat
tujuan kita sejatinya, pasti akan kelihatan diakhirnya. Orang yang berorientasi
kedudukan, materi, atau yang memang benar-benar tulus menjalani pengabdian
tidak akan akan pernah terlihat sama. Dan hanya mereka yang ikhlas menjadi
pelayan kebaikan yang akan beroleh pahala kebaikan pula serta keberkahan dalam
kehidupannya.
No comments:
Post a Comment