[Yogya, 07.10, sedikit mengantuk]
Ngobrol dengan
kakak perempuan saya memang menjadi pelepasan tersendiri. Kali ini kami asyik
berdiskusi tentang anak-anak. Dia bercerita betapa rumitnya mendidik anak-anak
jaman sekarang, jika kami bandingkan dengan jaman kami dulu dimana belum ada hp
dan internet. Dari sekian menit kami mengobrol dan sharing, saya menyimpulkan
bahwa anak-anak tidak hanya akan meng-copy paste segala perilaku orang tuanya,
tetapi sering kali menjadi obsesi ‘lifestyle’ orang tuanya. Mulai dari soal
mode baju, tatanan rambut, body language, sampai bahasa yang dipergunakan.
Saya ingat
betul ketika saya kecil dulu, ibu saya melarang saya memanjangkan rambut,
dengan alasan biar praktis dan bisa dikeramasi tiap hari. Maklum saja, waktu
itu rambut saya berkutu :D. Baru ketika menginjak SMP, saya bisa memanjangkan
rambut walaupun dengan gaya potongan yang konvensional. Begitu juga dengan
ayah, beliau gemar membelikan saya pakaian yang tidak feminin, alias celana
pendek dan t-shirt. Karena saya termasuk anak yang pecicilan, makanya mereka
lebih memilihkan celana daripada rok atau dress. Lama-lama saya terbiasa juga
dengan gaya berpakaian yang maskulin seperti itu. Tidak hanya itu saja, ketika
saya lulus SMP, pilihan sekolah pun akhirnya harus menuruti kedua orang tua,
dengan alasan sekolah yang saya pilih tidak favorit, bukan SMA terbaik :D.
Pengalaman saya
mungkin juga dialami oleh sebagian besar anak-anak. Hampir bisa dipastikan apa
yang dikenakan oleh mereka adalah pilihan terbaik dari orang tuanya. Kenapa rambut
harus panjang atau plontos biasanya kehendak terbesar orang tua. Cara berbicara
anak-anak juga mengimitasi dari orang tua. Sopan tidaknya bahasa yang dipakai
tergantung dari nilai-nilai yang diyakini oleh orang tua. Saya percaya bahwa
setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Karena
orang tua memang bertugas untuk mendidik, mengarahkan, mengajari, dan menjadi
teladan anak-anaknya. Akan dibentuk seperti apa anak-anak kita nantinya?
Tergantung pribadi kita, kapasitas, dan kualitas kita.
Ukuran
‘terbaik’ bisa bermakna relatif. Terbaik menurut orang tua yang satu belum
tentu berlaku sama buat yang lain. Jika kita berpikir lebih kritis, apakah ukuran
‘terbaik’ yang sudah kita yakini memang telah benar-benar mengandung
nilai-nilai yang hakiki? Terbaik menurut siapa? Jangan-jangan hanya tuntutan
sosial dan sistem pendidikan saja? Terbaik tidak hanya diukur dari nilai
matematis dan ranking prestasi akademis. Terbaik bukan juga dilihat dari
kemahirannya berbahasa asing. Terbaik juga tidak ditentukan apakah sebuah
institusi pendidikan memiliki predikat ‘bertaraf internasional’. Coba kita
renungkan kembali.
Sekedar
mengingatkan kita semua bahwa keberhasilan prestasi akademis jangan lantas
mengesampingkan pendidikan aqidah dan akhlaq. Jangan pernah bangga jika anak
kita nilai akademisnya 10 tapi attitude-nya 0 apalagi sampai tidak pernah
mengenal Tuhannya. Lupakah kita bahwa orang tua wajib mendidik anak-anaknya
dengan pendidikan aqidah dan akhlaq sebagaimana Luqman mendidik anak-anaknya
(QS. 31: 13-20).
Mengenal Allah dan tidak menyekutukanNya adalah pelajaran pertama
dan paling utama. Apa pelajaran pertama kita pada anak-anak? Belajar membaca, bukan?
Dan yang kita ajarkan adalah belajar membaca huruf latin: A-Z. Kapan kita
mengajarkan anak kita belajar mengenal huruf hijaiyah? Ketika kita mengajari
berhitung, kita membiasakan diri dengan menghitung uang, jajan, dan lain-lain.
Kita lupa untuk tidak memberikan pemahaman kepada mereka untuk menghitung dan
menyukuri ni’mat Allah. Kapan kita mengajarkan anak kita untuk berwudhu dan
sholat 5 waktu? Menunggu apa kita mendisiplinkan mereka untuk puasa ramadhan
dan berbagi kepada sesama? Sudahkah kita memberikan pemahaman bahwa mereka
harus beribadah dan menyembah Allah SWT?
Menghormati kedua orang tua. Tantangan terbesar orang tua abad ini tidak
lain adalah media dan teknologi. Bisa dihitung dengan jari anak-anak jaman
sekarang yang masih tidak bergadget. Orang tua harus ‘bersaing’ dengan benda
mati tersebut untuk merebut perhatian anak-anaknya. Demikian juga sebaliknya. Dampak
(buruk) dari komunikasi yang telah termediasi adalah runtuhnya sistem
kekerabatan dan kedekatan secara emosional (psikologis). Anak jadi lebih
‘jujur’ curhat ke facebook dan twitter daripada ke orang tuanya. Jika orang tua
tidak peka, maka akan mengakibatkan degradasi moral pada anak-anaknya.
Imbasnya, orang tua tidak lagi dianggap penting oleh mereka.
Orang tua adalah role model. Anak adalah copy-paste orang tua. Sudah saya
singgung sebelumnya. Nilai-nilai yang diterapkan oleh oran tua akan langsung
dicerna oleh mereka, termasuk nilai agama. Orang tua juga tidak berhenti
belajar untuk meningkatkan kualitasnya dan kapasitasnya baik dari segi ilmu
pengetahuan, pergaulan sosial, dan keagamaan.
Mendirikan shalat itu wajib!. Allah memerintahkan supaya orang tua
mengajarkan anak-anaknya untuk mewajibkan sholat. Perintah ini telah Allah
terangkan dalam satu ayat tersendiri karena begitu pentingnya ibadah yang satu
ini (QS. 31:17). Orang tua wajib menghukum anak-anaknya, apalagi yang sudah
baligh, ketika mereka meninggalkan sholat 5 waktu. Jika dengan Tuhannya saja
mereka tidak takut, apalagi dengan orang tua?
Berbuat baik terhadap sesama. Pelajaran ini lebih kepada etika. Otak yang
cerdas jika tidak diimbangi dengan sikap yang baik, sia-sia saja. Sikap yang
baik dalam surat Luqman diterangkan sebagai tawadhu (rendah hati) atau tidak
sombong. Respect/ menghormati orang lain menjadi salah satu nilai yang langka
saat ini. Orang-orang telah terbiasa acuh tak acuh terhadap sekitarnya,
sesamanya. Karena mereka sibuk memenuhi tuntutan status sosialnya daripada
memperdulikan lingkungan sosialnya. Allah mengajarkan keseimbangan dalam
beribadah kepadaNya (hablumminallaah) dan berbuat baik kepada sesama
(hablumminannas).
No comments:
Post a Comment