Wednesday, October 30, 2013

My children is My Style


[Yogya, 07.10, sedikit mengantuk]
Ngobrol dengan kakak perempuan saya memang menjadi pelepasan tersendiri. Kali ini kami asyik berdiskusi tentang anak-anak. Dia bercerita betapa rumitnya mendidik anak-anak jaman sekarang, jika kami bandingkan dengan jaman kami dulu dimana belum ada hp dan internet. Dari sekian menit kami mengobrol dan sharing, saya menyimpulkan bahwa anak-anak tidak hanya akan meng-copy paste segala perilaku orang tuanya, tetapi sering kali menjadi obsesi ‘lifestyle’ orang tuanya. Mulai dari soal mode baju, tatanan rambut, body language, sampai bahasa yang dipergunakan.

Saya ingat betul ketika saya kecil dulu, ibu saya melarang saya memanjangkan rambut, dengan alasan biar praktis dan bisa dikeramasi tiap hari. Maklum saja, waktu itu rambut saya berkutu :D. Baru ketika menginjak SMP, saya bisa memanjangkan rambut walaupun dengan gaya potongan yang konvensional. Begitu juga dengan ayah, beliau gemar membelikan saya pakaian yang tidak feminin, alias celana pendek dan t-shirt. Karena saya termasuk anak yang pecicilan, makanya mereka lebih memilihkan celana daripada rok atau dress. Lama-lama saya terbiasa juga dengan gaya berpakaian yang maskulin seperti itu. Tidak hanya itu saja, ketika saya lulus SMP, pilihan sekolah pun akhirnya harus menuruti kedua orang tua, dengan alasan sekolah yang saya pilih tidak favorit, bukan SMA terbaik :D.
Pengalaman saya mungkin juga dialami oleh sebagian besar anak-anak. Hampir bisa dipastikan apa yang dikenakan oleh mereka adalah pilihan terbaik dari orang tuanya. Kenapa rambut harus panjang atau plontos biasanya kehendak terbesar orang tua. Cara berbicara anak-anak juga mengimitasi dari orang tua. Sopan tidaknya bahasa yang dipakai tergantung dari nilai-nilai yang diyakini oleh orang tua. Saya percaya bahwa setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Karena orang tua memang bertugas untuk mendidik, mengarahkan, mengajari, dan menjadi teladan anak-anaknya. Akan dibentuk seperti apa anak-anak kita nantinya? Tergantung pribadi kita, kapasitas, dan kualitas kita.
Ukuran ‘terbaik’ bisa bermakna relatif. Terbaik menurut orang tua yang satu belum tentu berlaku sama buat yang lain. Jika kita berpikir lebih kritis, apakah ukuran ‘terbaik’ yang sudah kita yakini memang telah benar-benar mengandung nilai-nilai yang hakiki? Terbaik menurut siapa? Jangan-jangan hanya tuntutan sosial dan sistem pendidikan saja? Terbaik tidak hanya diukur dari nilai matematis dan ranking prestasi akademis. Terbaik bukan juga dilihat dari kemahirannya berbahasa asing. Terbaik juga tidak ditentukan apakah sebuah institusi pendidikan memiliki predikat ‘bertaraf internasional’. Coba kita renungkan kembali.
Sekedar mengingatkan kita semua bahwa keberhasilan prestasi akademis jangan lantas mengesampingkan pendidikan aqidah dan akhlaq. Jangan pernah bangga jika anak kita nilai akademisnya 10 tapi attitude-nya 0 apalagi sampai tidak pernah mengenal Tuhannya. Lupakah kita bahwa orang tua wajib mendidik anak-anaknya dengan pendidikan aqidah dan akhlaq sebagaimana Luqman mendidik anak-anaknya (QS. 31: 13-20).
Mengenal Allah dan tidak menyekutukanNya adalah pelajaran pertama dan paling utama. Apa pelajaran pertama kita pada anak-anak? Belajar membaca, bukan? Dan yang kita ajarkan adalah belajar membaca huruf latin: A-Z. Kapan kita mengajarkan anak kita belajar mengenal huruf hijaiyah? Ketika kita mengajari berhitung, kita membiasakan diri dengan menghitung uang, jajan, dan lain-lain. Kita lupa untuk tidak memberikan pemahaman kepada mereka untuk menghitung dan menyukuri ni’mat Allah. Kapan kita mengajarkan anak kita untuk berwudhu dan sholat 5 waktu? Menunggu apa kita mendisiplinkan mereka untuk puasa ramadhan dan berbagi kepada sesama? Sudahkah kita memberikan pemahaman bahwa mereka harus beribadah dan menyembah Allah SWT?
Menghormati kedua orang tua. Tantangan terbesar orang tua abad ini tidak lain adalah media dan teknologi. Bisa dihitung dengan jari anak-anak jaman sekarang yang masih tidak bergadget. Orang tua harus ‘bersaing’ dengan benda mati tersebut untuk merebut perhatian anak-anaknya. Demikian juga sebaliknya. Dampak (buruk) dari komunikasi yang telah termediasi adalah runtuhnya sistem kekerabatan dan kedekatan secara emosional (psikologis). Anak jadi lebih ‘jujur’ curhat ke facebook dan twitter daripada ke orang tuanya. Jika orang tua tidak peka, maka akan mengakibatkan degradasi moral pada anak-anaknya. Imbasnya, orang tua tidak lagi dianggap penting oleh mereka.
Orang tua adalah role model. Anak adalah copy-paste orang tua. Sudah saya singgung sebelumnya. Nilai-nilai yang diterapkan oleh oran tua akan langsung dicerna oleh mereka, termasuk nilai agama. Orang tua juga tidak berhenti belajar untuk meningkatkan kualitasnya dan kapasitasnya baik dari segi ilmu pengetahuan, pergaulan sosial, dan keagamaan.
Mendirikan shalat itu wajib!. Allah memerintahkan supaya orang tua mengajarkan anak-anaknya untuk mewajibkan sholat. Perintah ini telah Allah terangkan dalam satu ayat tersendiri karena begitu pentingnya ibadah yang satu ini (QS. 31:17). Orang tua wajib menghukum anak-anaknya, apalagi yang sudah baligh, ketika mereka meninggalkan sholat 5 waktu. Jika dengan Tuhannya saja mereka tidak takut, apalagi dengan orang tua?
Berbuat baik terhadap sesama. Pelajaran ini lebih kepada etika. Otak yang cerdas jika tidak diimbangi dengan sikap yang baik, sia-sia saja. Sikap yang baik dalam surat Luqman diterangkan sebagai tawadhu (rendah hati) atau tidak sombong. Respect/ menghormati orang lain menjadi salah satu nilai yang langka saat ini. Orang-orang telah terbiasa acuh tak acuh terhadap sekitarnya, sesamanya. Karena mereka sibuk memenuhi tuntutan status sosialnya daripada memperdulikan lingkungan sosialnya. Allah mengajarkan keseimbangan dalam beribadah kepadaNya (hablumminallaah) dan berbuat baik kepada sesama (hablumminannas).



No comments:

Post a Comment