[Kaliurang, 06.23 a.m #nowlistening Cahaya Hati by Opick]
Kalau nonton
film atau sinetron, pasti kita ketemu sama dua karakter ini: protagonis dan
antagonis. Pemeran protagonis adalah aktor yang memerankan tokoh berkarakter
baik, biasanya sekaligus jadi pemeran utamanya. Harry Potter dan Superman
adalah contoh karakter protagonis. Kebalikannya, aktor antagonis dibangun dengan
karakter-karakter negatif, umumnya sih berperan sebagai penjahat dan menjadi
musuh si tokoh pahlawan. Karakter antagonis ini cenderung memiliki sifat jahat,
culas, dan gemar membuat kerusakan, pokoknya meresahkan banyak orang lah.
Saya rasa,
tidak hanya dalam sinetron atau film saja kita bisa menemui karakter protagonis
dan antagonis ya? Dalam dunia nyata pun
mereka juga eksis. Yang paling mudah adalah ketika kita menonton berita di
televisi, kasus kriminalitas misalnya. Dari situ sudah bisa kita nilai mana si
protagonis dan mana yang antagonis. Ya walaupun tidak se dramatis dalam kisah
fiksi, tapi keberadaan mereka menjadi pembeda dan memberikan batasan
nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai keburukan.
Bagaimana kedua
karakter ini bermula?
Ini sekedar
analisa dan pendapat saya sebagai penulis fiksi bukan ahli ilmu agama lo ya J. Analisis ini
saya dasarkan pada pendapat seorang ulama yang menyatakan bahwa, dosa pertama
manusia adalah iri hati. Penyebab iblis membangkang perintah Allah untuk
bersujud tidak lain disebabkan karena iri hati kepada nabi Adam A.S. Sebagai
konsekuensi, Allah kemudian mengutuknya sampai kiamat tiba. Iblis pun
menyatakan dengan sombongnya tidak akan melepas anak Adam untuk masuk surga.
Terang-terangan iblis menyatakan diri sebagai ‘tokoh’ antagonis.
Dunia fiksi
tentu berbeda dengan dunia nyata. Dalam dunia fiksi, semuanya serba relatif.
Protagonis atau antagonis itu tergantung dari sudut pandang siapa yang melihat.
Seseorang menjadi ‘jahat’ karena memang dikondisikan demikan oleh si penulis,
semata-mata dihadirkan untuk dibandingkan si ‘baik’. Demikian pula sebaliknya. Selain
itu, seorang aktor tidak bisa memilih peran yang sudah ditentukan dalam skrip
oleh sang sutradara.
Kita sebagai
manusia, tentu tidak hidup di dunia fiksi bukan? Yang harus kita sadari, bahwa
kita memiliki kehendak untuk memilih akan menjadi apa kita, dan akan memerankan
karakter seperti apa nanti. Semua tergantung kita. Menjadi baik, tidak cukup
dari standar pribadi yang kita pakai. Ada aturan dan koridor yang harus kita
patuhi. Pun larangan dan rambu-rambu yang tidak boleh kita langgar. Jika dalam
dunia fiksi, aturan, rambu-rambu, konsekuensi, dan ‘hukuman’ dan ‘pahala’ yang
diterima oleh masing-masing aktor berdasarkan standar si penulis/ sutradara.
Demikian di dunia nyata, Allah lah Penulis Skenario sekaligus Sang Sutradara
yang menetapkan rambu-rambu, konsekuensi, hukuman pun pahala bagi para aktornya
berdasarkan standar yang telah ditetapkanNya. Diturunkannya Al Quran dan
ditugaskannya nabi Muhammad di dunia tiada lain sebagai tuntunan dan peringatan
bagi umat manusia. Dari situ Allah kemudian menilai manusia dari ketaatannya
menjalankan aturan yang terdapat dalam Al Quran dan Al Hadist, dan apakah kita
telah menjalani kehidupan kita sudah sesuai dengan standarNya.
Kita termasuk
aktor yang mana?
Aktor
protagonis jika berdasarkan standar Islam adalah umat yang hati dan perilakunya
leboh condong kepada Allah, Al Quran dan rosulNya. Sedangkan aktor protagonis
justru yang sebaliknya, gemar melanggar yang dilarang, ingkar kepada
keberananNya, dan menuhankan nafsunya.
Sebaik-baiknya
manusia adalah yang menjadi pembuka kebaikan dan penutup keburukan. Bukan malah
menjadi pembuka kejahatan dan penutup kebaikan. Ketika kita tidak bisa memuji
teman kita, setidaknya kita tidak mencela kekurangannya. Atau, jangan bikin
susah orang lain jika kita tidak bisa menyenangkannya. J
Teman-teman,
kita tidak sedang main drama pertunjukan lo, jangan terlena dengan peran
antagonis kita walaupun kadang menyenangkan. Segera ganti peran kita. Siapa
bilang tidak ada kata terlambat. Kita tidak pernah tahu kapan dan dimana bagian
akhir episode hidup kita. Satu hal, kita memiliki Allah yang Maha Pengampun atas
dosa dan khilaf yang kita lakukan selama kita datang dengan iman dan
memperbaiki diri. Tidak percaya? Coba hitung ya, ada sekitar 90an ayat dalam Al
Quran yang menyatakan bahwa Allah selalu menunggu tobat dari hambanya dan
berjanji akan mengampuniNya. Wallahua'lam bisshawab..
No comments:
Post a Comment