Thursday, October 24, 2013

Status? Oh My God!


[Gedung Pusat UGM, jam 9.37 pagi]
Pagi ini saya sebetulnya nguantuk berat. Karena semalam saya begadang, ngobrol ngalor ngidul sama Dheny, teman kos. Awalnya sih dibuka dengan sesi curhat Dheny yang galau tingkat tinggi katanya. Saya paham, karena saya pun dahulu pernah mengalami galau model begitu. Galau ketika akan mengalami pergantian status dari mahasiswa menjadi bukan-mahasiswa. Nah status ‘bukan-mahasiswa’ inilah yang bikin kita krisis, kritis. Krisis PD dan kritis dana. Hahaha.

Mau ganti jadi karyawan: kerja apa? dimana? Saya bergelut dengan ketakutan dan kekhawatiran yang saya buat sendiri, membayangkan dunia kerja yang katanya kompetitif, saling sikut kanan kiri, dan ndak fair. Disisi lain, kondisi keuangan sudah tidak bersahabat, akhirnya kepikiran mau kerja apa aja lah yang penting dapet pengalaman dulu, dan duitnya halal. Paling enak kalau punya usaha sendiri memang, status kita pun lebih kece: bos, direktur, owner of, self-employed, enterpreneur alias pengusaha. Tapi masalahnya sama aja, saya ndak punya cukup nyali untuk jualan, ndak bakat kayaknya, selain modal juga cekak, skill apalagi. Coret ajalah. Atau menikah saja kali ya, biar statusnya otomatis jelas: ibu rumah tangga, istri, Nyonya X. Lagi-lagi opsi ini saya coret, boro-boro menikah, pacar aja ndak eksis. Hadeh. Yang bikin complicated lagi adalah subsidi orang tua sudah mulai surut, ndak ada subsidi silang. Ditambah lagi tekanan sosial yang bikin kita seolah diburu-buru waktu, dikejar kejar target. Setelah diteror dengan “kapan lulus?” kini ganti “kerja dimana?” menjadi pertanyaan wajib yang bikin kuping tambah tebel. Hehehe.
 Tenang Dhen, semua akan indah pada waktunya... katanya gitu. Eh tapi, waktu ndak akan nunggu orang yang diem dan sok berlagak ‘sabar’... :D
Itu sekilas curcol saya soal “status” yang seolah bikin dunia kiamat :D (ini sih lebay bo!)
Well, kemudian pembicaraan kami pun mengarah pada urusan duit, bisnis, dan usaha. Secara ya, kami berdua lagi butuh suntikan dana segar hahaha. Surprise aja ketika Dheny cerita tentang pengalamannya jualan salad buah bersama teman kuliahnya dulu. Walaupun bangkrut (sama juga kayak saya sih). Mata saya yang awalnya sudah 5 watt tiba-tiba nyalang :D. Tanpa pikir panjang, saya pun membuka netbook saya dan menunjukkan pada Dheny tentang sejarah Quin Surabaya, usaha saya, cinta saya dahulu hehehe.
Singkat kata, saya dan Dheny sepakat akan membuka kembali Quin dengan kisah baru yang lebih fresh dan lebih humble (baca: modal lebih minim ;p). Kenapa juga saya ndak ada kapok-kapoknya mau jualan salad lagi padahal usaha Quin kemarin menyisakan kepedihan yang belum usai, cieehh... Kalau kata mbah Nietzche, What does not kill me, makes me stronger :D. Etapi bener lo, membuka Quin seolah menjadi sekolah privat buat saya. Walaupun singkat, namun banyak hal yang bisa saya pelajari dari sana. Bagaimana tidak, saya adalah konseptor Quin, founder-nya lah. Merangkap manajer marketing, pemasaran (yang belanja ke pasar maksudnya), chef, akuntan, bendahara, sekaligus kurir. Komplit. Tapi dari sanalah saya jadi kenal para bakul buah yang OK di pasar pucang, punya langganan penjual packaging, dan belajar manajemen keuangan, walaupun hanya yang dasar-dasarnya saja. Alhamdulillah. Saya tambah pinter hehehe.
Pelajaran utama yang saya dapatkan dan saya rasakan benar impact-nya adalah, bahwa tidak ada yang percuma, tidak ada yang sia-sia walaupun itu sebuah kegagalan. Pelajaran berharga itu kita dapatkan justru dari kegagalan. Belajar survive, itu pasti. Dan yang paling penting adalah belajar persisten (gigih), tidak mudah menyerah.

Oke Dhen, semoga obrolan kita semalem bisa mengobati kegalauan-tingkat-dewa mu ya... Yuk kita pilih status kita sendiri. Kalau modal kita cekak, skill juga pas-pasan, jaringan juga belum kebuka luas, tapi kalau kita punya modal iman dan mental ‘hajar jaya’, insyaAllah everything will be ok! Cemungud! ;p

No comments:

Post a Comment