[Gedung Pusat UGM, jam
9.37 pagi]
Pagi ini saya sebetulnya
nguantuk berat. Karena semalam saya begadang, ngobrol ngalor ngidul sama Dheny,
teman kos. Awalnya sih dibuka dengan sesi curhat Dheny yang galau tingkat
tinggi katanya. Saya paham, karena saya pun dahulu pernah mengalami galau model
begitu. Galau ketika akan mengalami pergantian status dari mahasiswa menjadi
bukan-mahasiswa. Nah status ‘bukan-mahasiswa’ inilah yang bikin kita krisis,
kritis. Krisis PD dan kritis dana. Hahaha.
Mau ganti jadi karyawan:
kerja apa? dimana? Saya bergelut dengan ketakutan dan kekhawatiran yang saya
buat sendiri, membayangkan dunia kerja yang katanya kompetitif, saling sikut
kanan kiri, dan ndak fair. Disisi lain, kondisi keuangan sudah tidak
bersahabat, akhirnya kepikiran mau kerja apa aja lah yang penting dapet pengalaman
dulu, dan duitnya halal. Paling enak kalau punya usaha sendiri memang, status
kita pun lebih kece: bos, direktur, owner of, self-employed, enterpreneur alias
pengusaha. Tapi masalahnya sama aja, saya ndak punya cukup nyali untuk jualan,
ndak bakat kayaknya, selain modal juga cekak, skill apalagi. Coret ajalah. Atau
menikah saja kali ya, biar statusnya otomatis jelas: ibu rumah tangga, istri,
Nyonya X. Lagi-lagi opsi ini saya coret, boro-boro menikah, pacar aja ndak
eksis. Hadeh. Yang bikin complicated lagi adalah subsidi orang tua sudah mulai
surut, ndak ada subsidi silang. Ditambah lagi tekanan sosial yang bikin kita
seolah diburu-buru waktu, dikejar kejar target. Setelah diteror dengan “kapan
lulus?” kini ganti “kerja dimana?” menjadi pertanyaan wajib yang bikin kuping
tambah tebel. Hehehe.
Tenang Dhen, semua akan indah pada waktunya...
katanya gitu. Eh tapi, waktu ndak akan nunggu orang yang diem dan sok berlagak ‘sabar’...
:D
Itu sekilas curcol saya soal
“status” yang seolah bikin dunia kiamat :D (ini sih lebay bo!)
Well, kemudian
pembicaraan kami pun mengarah pada urusan duit, bisnis, dan usaha. Secara ya,
kami berdua lagi butuh suntikan dana segar hahaha. Surprise aja ketika Dheny
cerita tentang pengalamannya jualan salad buah bersama teman kuliahnya dulu. Walaupun
bangkrut (sama juga kayak saya sih). Mata saya yang awalnya sudah 5 watt
tiba-tiba nyalang :D. Tanpa pikir panjang, saya pun membuka netbook saya dan
menunjukkan pada Dheny tentang sejarah Quin Surabaya, usaha saya, cinta saya
dahulu hehehe.
Singkat kata, saya dan
Dheny sepakat akan membuka kembali Quin dengan kisah baru yang lebih fresh dan
lebih humble (baca: modal lebih minim ;p). Kenapa juga saya ndak ada kapok-kapoknya
mau jualan salad lagi padahal usaha Quin kemarin menyisakan kepedihan yang
belum usai, cieehh... Kalau kata mbah Nietzche, What does not kill me, makes me
stronger :D. Etapi bener lo, membuka Quin seolah menjadi sekolah privat buat
saya. Walaupun singkat, namun banyak hal yang bisa saya pelajari dari sana. Bagaimana
tidak, saya adalah konseptor Quin, founder-nya lah. Merangkap manajer
marketing, pemasaran (yang belanja ke pasar maksudnya), chef, akuntan,
bendahara, sekaligus kurir. Komplit. Tapi dari sanalah saya jadi kenal para
bakul buah yang OK di pasar pucang, punya langganan penjual packaging, dan belajar
manajemen keuangan, walaupun hanya yang dasar-dasarnya saja. Alhamdulillah. Saya
tambah pinter hehehe.
Pelajaran utama yang saya
dapatkan dan saya rasakan benar impact-nya adalah, bahwa tidak ada yang
percuma, tidak ada yang sia-sia walaupun itu sebuah kegagalan. Pelajaran berharga
itu kita dapatkan justru dari kegagalan. Belajar survive, itu pasti. Dan yang
paling penting adalah belajar persisten (gigih), tidak mudah menyerah.
Oke Dhen, semoga obrolan
kita semalem bisa mengobati kegalauan-tingkat-dewa mu ya... Yuk kita pilih
status kita sendiri. Kalau modal kita cekak, skill juga pas-pasan, jaringan juga
belum kebuka luas, tapi kalau kita punya modal iman dan mental ‘hajar jaya’, insyaAllah
everything will be ok! Cemungud! ;p
No comments:
Post a Comment