Thursday, October 24, 2013

Netiquette bagian II


[Kamar kost, jam 05.65, feeling hopeless]
Seperti yang kita tahu bahwa internet adalah media komunikasi yang diperantarai oleh komputer (dan alat elektronik lain yang kompatibel) untuk berinteraksi dengan publik maupun personal. Proyeksi dari data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapat 82 juta di tahun 2013 dan akan mencapai 107 jutaan di tahun 2014. Pengguna internet di kantor sebesar 20,4 persen, di kampus dan sekolah 10 persen, dan pengguna internet di rumah sebesar 0,4 persen. Konsumen digital tersebut rata-rata menghabiskan kurang lebih 14 jam seminggu untuk online (www.tekno.kompas.com).

Meningkatnya frekuensi dan jam online disebabkan karena tersedianya akses dan fasilitas yang memudahkan mereka terkoneksi ke jaringan internet, misalnya fasilitas LAN dan wifi gratis. Semakin terjangkaunya harga modem dan smartphone yang memiliki layanan internet juga menjadi faktor pendorong makin banyaknya early adopter (pengguna awal) internet. Para pengguna internet yang masih dini ini lah yang harus mendapatkan perhatian dan pembelajaran bagaimana beretika sekaligus memfungsikan internet secara bijaksana.
Kenali risiko, hindari publikasi data pribadi yang berlebihan. Karena internet adalah ruang publik, seperti halnya televisi, apapun bisa terjadi.
Plagiarisme dan Pelanggaran Hak Cipta
Kedua hal ini termasuk ‘dosa’ yang tidak termaafkan. Plagiarisme tidak hanya berlaku untuk dunia akademis, dalam dunia non-akademis pun juga diterapkan. Meng-copas tulisan tanpa menyebutkan sumbernya adalah plagiarisme, meng-copas foto/ gambar milik orang lain tanpa ijin adalah pelanggaran hak cipta dan privasi. Yang kesemuanya dapat diperkarakan secara pidana. Nah, jangan biasakan sharing data/ informasi tanpa ijin pemiliknya, baca ‘terms and conditions’ terlebih dahulu sebelum meneruskan apapun ke ruang publik. Demikian juga dengan karya pribadi kita, jika tidak ingin di-copas, di-share, di-RT, dan di-curi idenya, ya jangan mempublikasikan apapun di internet.
Penipuan
Apa yang tidak bisa diketik dengan jari? Apa yang tidak bisa dipencet dengan jempol. Internet memfasilitasi kita dengan anonimitas, artinya tidak ada larangan dan ‘undang-undang’ yang melarang kita memakai identitas orang lain dan memberikan data-data palsu. Modus penipuan di internet sangat canggih, lihai dan banyak macamnya. Ada yang beroperasi sebagai online shop, biro jodoh (dating), undian/ lotere, sampai dengan permohonan sumbangan/ bantuan palsu yang ujung-ujungnya rekening kita dikuras habis. Berhati-hatilah pada situs yang berkedok polling, dan meminta kita memasukkan data-data pribadi.
Kriminalitas
Carding, cracking, dan hacking adalah beberapa istilah dalam cybercrime. Kejahatan dunia maya yang populer adalah pembajakan akun, situs, penyebaran virus, sampai dengan ‘pembobolan’ sistem jaringan internet. Para pelaku kriminal ini memiliki tujuan yang bermacam-macam, mulai dari perampokan, peretasan sistem data dan informasi, pembajakan hasil karya, atau cyber terrorism pada institusi maupun personal. Berhati-hatilah meng-klik tautan (link) asing yang terdapat pada akun-akun pribadi kita. Selain itu, hindari melakukan verifikasi dengan menggunakan data-data yang sangat pribadi: nomor hp, alamat rumah, dan nomor rekening.
Penculikan, trafficking, dan Pemerkosaan
Jejaring sosial seolah menjelma menjadi pasar. Para sindikat ini dengan leluasa ‘menjaring’ korbannya dengan aman, karena mereka tidak harus bertatapan langsung. Selain  itu mereka pun pandai menyamar dan memakai identitas palsu. Tidak hanya merayu korbannya, mereka juga kerap menjanjikan hadiah, pekerjaan layak, sampai dengan mengajak menikah. Setelah korbannya percaya, mereka kemudian mengajak si korban untuk bertemu langsung dan melaksanakan kejahatan yang sudah direncanakan sebelumnya.
Pornografi
Internet seolah tidak bisa lepas dari pornografi. Selama kita memiliki gadget yang terkoneksi internet, kita akan memiliki akses untuk mengkonsumsi informasi apapun, termasuk pornografi. Kita tahu bahwa peraturan pemerintah seperti undang-undang ITE masih belum mampu mengatasi konten yang berbau pornografi dan kekerasan. Sanksi sosial pun juga tidak berfungsi maksimal bagi pelanggaran asusila. Negara kita masih permisif.
Mengapa banyak orang tua yang masih menuruti anak-anaknya yang masih dibawah umur untuk memiliki smartphone dan memberikan full akses tanpa proteksi dan pemahaman risiko?

Saya teringat dua orang anak laki-laki yang cekikikan sambil memelototi tablet yang dipegangnya, kemarin pagi. Masih berseragam merah dan putih, dan mereka sudah mengakses konten yang seharusnya tidak  dikonsumsi untuk anak seusianya. Lantas cara preventif apa agar generasi mereka dapat terhindar dari paparan negatif teknologi informasi yang semakin tidak terbendung? Sampai kapan kita akan tetap acuh dan abai dengan kondisi generasi yang semakin memprihatinkan? Mulailah membangun proteksi untuk diri sendiri dan orang-orang yang kita kasihi. Buat filter untuk menyaring info dan konten yang memang selayaknya dikonsumsi. Mulailah dari diri sendiri dan hari ini. Semangaaatttt!!!

No comments:

Post a Comment