[Kamar kost, jam 05.65, feeling hopeless]
Seperti yang kita tahu bahwa internet adalah media
komunikasi yang diperantarai oleh komputer (dan alat elektronik lain yang
kompatibel) untuk berinteraksi dengan publik maupun personal. Proyeksi dari
data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), menunjukkan bahwa
pengguna internet di Indonesia telah mencapat 82 juta di tahun 2013 dan akan
mencapai 107 jutaan di tahun 2014. Pengguna internet di kantor sebesar 20,4
persen, di kampus dan sekolah 10 persen, dan pengguna internet di rumah sebesar
0,4 persen. Konsumen digital tersebut rata-rata menghabiskan kurang lebih 14
jam seminggu untuk online (www.tekno.kompas.com).
Meningkatnya frekuensi dan jam online disebabkan karena
tersedianya akses dan fasilitas yang memudahkan mereka terkoneksi ke jaringan
internet, misalnya fasilitas LAN dan wifi gratis. Semakin terjangkaunya harga
modem dan smartphone yang memiliki layanan internet juga menjadi faktor
pendorong makin banyaknya early adopter (pengguna awal) internet. Para pengguna
internet yang masih dini ini lah yang harus mendapatkan perhatian dan
pembelajaran bagaimana beretika sekaligus memfungsikan internet secara
bijaksana.
Kenali risiko, hindari publikasi data pribadi yang
berlebihan. Karena internet adalah ruang publik, seperti halnya televisi,
apapun bisa terjadi.
Plagiarisme dan Pelanggaran Hak
Cipta
Kedua hal ini termasuk ‘dosa’ yang tidak termaafkan.
Plagiarisme tidak hanya berlaku untuk dunia akademis, dalam dunia non-akademis
pun juga diterapkan. Meng-copas tulisan tanpa menyebutkan sumbernya adalah
plagiarisme, meng-copas foto/ gambar milik orang lain tanpa ijin adalah
pelanggaran hak cipta dan privasi. Yang kesemuanya dapat diperkarakan secara
pidana. Nah, jangan biasakan sharing data/ informasi tanpa ijin pemiliknya,
baca ‘terms and conditions’ terlebih dahulu sebelum meneruskan apapun ke ruang
publik. Demikian juga dengan karya pribadi kita, jika tidak ingin di-copas,
di-share, di-RT, dan di-curi idenya, ya jangan mempublikasikan apapun di
internet.
Penipuan
Apa yang tidak bisa diketik dengan jari? Apa yang tidak
bisa dipencet dengan jempol. Internet memfasilitasi kita dengan anonimitas,
artinya tidak ada larangan dan ‘undang-undang’ yang melarang kita memakai
identitas orang lain dan memberikan data-data palsu. Modus penipuan di internet
sangat canggih, lihai dan banyak macamnya. Ada yang beroperasi sebagai online
shop, biro jodoh (dating), undian/ lotere, sampai dengan permohonan sumbangan/
bantuan palsu yang ujung-ujungnya rekening kita dikuras habis. Berhati-hatilah
pada situs yang berkedok polling, dan meminta kita memasukkan data-data
pribadi.
Kriminalitas
Carding, cracking, dan hacking adalah beberapa istilah
dalam cybercrime. Kejahatan dunia maya yang populer adalah pembajakan akun,
situs, penyebaran virus, sampai dengan ‘pembobolan’ sistem jaringan internet.
Para pelaku kriminal ini memiliki tujuan yang bermacam-macam, mulai dari perampokan,
peretasan sistem data dan informasi, pembajakan hasil karya, atau cyber
terrorism pada institusi maupun personal. Berhati-hatilah meng-klik tautan
(link) asing yang terdapat pada akun-akun pribadi kita. Selain itu, hindari
melakukan verifikasi dengan menggunakan data-data yang sangat pribadi: nomor
hp, alamat rumah, dan nomor rekening.
Penculikan, trafficking, dan
Pemerkosaan
Jejaring sosial seolah menjelma menjadi pasar. Para
sindikat ini dengan leluasa ‘menjaring’ korbannya dengan aman, karena mereka
tidak harus bertatapan langsung. Selain
itu mereka pun pandai menyamar dan memakai identitas palsu. Tidak hanya
merayu korbannya, mereka juga kerap menjanjikan hadiah, pekerjaan layak, sampai
dengan mengajak menikah. Setelah korbannya percaya, mereka kemudian mengajak si
korban untuk bertemu langsung dan melaksanakan kejahatan yang sudah direncanakan
sebelumnya.
Pornografi
Internet seolah tidak bisa lepas dari pornografi. Selama
kita memiliki gadget yang terkoneksi internet, kita akan memiliki akses untuk
mengkonsumsi informasi apapun, termasuk pornografi. Kita tahu bahwa peraturan
pemerintah seperti undang-undang ITE masih belum mampu mengatasi konten yang
berbau pornografi dan kekerasan. Sanksi sosial pun juga tidak berfungsi
maksimal bagi pelanggaran asusila. Negara kita masih permisif.
Mengapa banyak orang tua yang masih menuruti anak-anaknya
yang masih dibawah umur untuk memiliki smartphone dan memberikan full akses
tanpa proteksi dan pemahaman risiko?
Saya teringat dua orang anak laki-laki yang cekikikan
sambil memelototi tablet yang dipegangnya, kemarin pagi. Masih berseragam merah
dan putih, dan mereka sudah mengakses konten yang seharusnya tidak dikonsumsi untuk anak seusianya. Lantas cara
preventif apa agar generasi mereka dapat terhindar dari paparan negatif
teknologi informasi yang semakin tidak terbendung? Sampai kapan kita akan tetap
acuh dan abai dengan kondisi generasi yang semakin memprihatinkan? Mulailah
membangun proteksi untuk diri sendiri dan orang-orang yang kita kasihi. Buat
filter untuk menyaring info dan konten yang memang selayaknya dikonsumsi.
Mulailah dari diri sendiri dan hari ini. Semangaaatttt!!!
No comments:
Post a Comment