Thursday, November 7, 2013

Mendengarkan versi Ayah

Hari ini aku agak sedikit tidak enak hati kepada Ayahku. Gimana sih rasanya nggak didengerin? Bete kan?.
Pertama, seminggu yang lalu aku bilang sama Ayah kalau aku mau daftar klub futsal sama Dimas dan Arya. Beliau diam saja. Tidak merespon. Kedua, tadi aku cerita kalau ulangan matematika-ku dapet 80, nilai yang sangat langka setelah hampir satu semester ini. Boro-boro muji, beliau cuma bilang gini ‘Alhamdulillaah, semua karena Allaah’. Ya iyya lah karena Allaah, tapi paling tidak beliau mengapresiasi kerja kerasku, perjuanganku yang berdarah-darah. Barusan, aku tanya lagi sama beliau, apakah aku diijinkan mendaftar klub futsal, karena hari ini adalah penutupan pendaftaran. Bukan menjawab pertanyaan malah meninggalkanku tanpa sepatah kata pun.

Aku masih terdiam memandangi layar laptopku, beberapa data yang dibutuhkan untuk pendaftaran klub futsal sudah kuisi komplit, tinggal di-submit. Galau juga sih karena belum dapet ijin dari Ayah.
“Lid, sini deh...ayah mau cerita...” suara ayah mengagetkanku. Kuhampiri beliau yang sedang duduk di ruang tengah.
“Ada sebuah hikayat menarik, alkisah seorang raja yang telah berusia lanjut berniat memberikan tahtanya kepada sang putra mahkota, namun ia masih ragu apakah sang putra mahkota mampu memimpin kerajaannya. Oleh karena itu, sebelum putra mahkota dinobatkan sebagai raja, sang raja mengutus putera mahkota untuk pergi menemui seorang guru yang terkenal sangat bijak dan arif supaya putera mahkota dapat belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik. Maka berangkatlah putera mahkota menemui guru yang bijak tersebut. Sesampainya di tempat sang guru, putera mahkota ditanya oleh sang guru bijak
‘Apa yang hendak paduka pelajari?’
‘Aku ingin belajar bagaimana menjadi raja yang bijak, guru’
Kemudian sang guru bijak itu berkata ‘Pergilah ke hutan dan belajarlah mendegarkan selama satu tahun di sana’ Kemudian putera mahkota berangkat ke hutan. Setelah satu tahun berlalu, putera mahkota kemudian kembali menemui gurunya. Sang guru kemudian bertanya lagi,
‘Apa yang paduka pelajari selama di hutan?’
‘Aku belajar mendengarkan, guru’jawab sang putra mahkota.
‘Apasaja yang paduka dengarkan?’
‘Aku mendengarkan suara berbagai macam binatang, mendengarkan daun dan ranting pohon yang tersapu angin, air sungai yang mengalir, hujan yang menimpa pucuk-pucuk pohon, embun yang bergulir di pagi hari…’
‘Baiklah, kalau begitu tinggallah setahun lagi di hutan dan dengarkan dengan seksama apa yang paduka alami’
Meski dengan berat hati dan tanda tanya yang besar di benaknya, akhirnya putera mahkota kembali ke hutan. Setahun kemudian ia kembali menemui gurunya
‘Guru, aku telah mendengarkan banyak hal’ ujarnya.
‘Ceritakan’
‘Aku telah mendengar bagaimana burung-burung membantu pohon untuk berbuah, mengapa air sungai mengalir dari hulu ke hilir yang lebih dangkal, matahari yang panas ternyata mampu mengumpulkan hujan, serta bagaimana udara malam berubah wujud menjadi buliran embun yang indah…’
‘Kalau begitu, kini paduka telah memahami hakikat kepemimpinan…’ ucap sang guru seraya tersenyum” Ayah mengakhiri ceritanya, dengan tanda tanya di benakku.
“Trus, Yah...?”tanyaku penasaran.
“Cerita itu adalah tafsiran dari surat An Nahl ayat 65”
Aku manggut-manggut, masih tidak mengerti. Kemudian ayah melanjutkan kalimatnya.
“Ayah tahu kalau kamu pasti mendongkol sama ayah, kan? Ayah mendengarkan semua yang kamu ucapkan kok, nak. Mendengar dan mendengarkan itu berbeda. Kalau mendengar, ya hanya sampai di telinga saja, setelah itu mungkin dilupakan. Kalau mendengarkan, tidak cuma pakai telinga, tetapi juga harus pakai hati. Itulah kenapa, ketika kamu berkata bahwa kamu akan mendaftar jadi anggota klub futsal, ayah hanya diam. Karena ayah masih berpikir. Tidak mudah untuk memutuskan apakah itu boleh atau tidak. Yang pasti, ayah hanya ingin mengajarkan kamu untuk bertanggung jawab dan konsisten dengan apa yang akan kamu jalani. Ayah dan Mama tidak mau sekolahmu terbengkalai karena futsal. Menuntut ilmu itu hukumnya wajib”
Fiuuuh...akhirnya...
“Olah raga kan juga ilmu, Yah? Ada hadistnya lo...”
“Betul, tetapi akan lebih utama apabila kamu menuntut ilmu yang tidak hanya bermanfaat untuk duniamu, tetapi juga untuk akhiratmu” tukas Ayah.
Oke. Sepertinya keputusan sudah dibuat. Aku paham betul bagaimana ayahku menyampaikan maksudnya. Beliau tidak benar-benar melarangku, tapi juga tidak sepenuhnya mengijinkanku. Ini adalah cara beliau mengajariku untuk berpikir sekaligus bertindak. Memberikanku kepercayaan untuk menentukan keputusan penting dalam hidupku.
Jujur saja ada sedikit kecewa, tetapi Ayah telah memberikan alasan yang masuk akal. Terlepas dari ketakutanku menjadi anak yang durhaka, aku lebih takut lagi ketika nanti aku benar-benar tidak bisa memenuhi janjiku pada ayah: bertanggung jawab. Bukannya ridho Allaah dari ridho orang tua?

Kubuka kembali website pendaftaran klub futsal. Kuarahkan kursor mouse pada bar: “CANCEL”. Klik. Data aborted.

No comments:

Post a Comment