Hari
ini aku agak sedikit tidak enak hati kepada Ayahku. Gimana sih rasanya nggak
didengerin? Bete kan?.
Pertama,
seminggu yang lalu aku bilang sama Ayah kalau aku mau daftar klub futsal sama
Dimas dan Arya. Beliau diam saja. Tidak merespon. Kedua, tadi aku cerita kalau
ulangan matematika-ku dapet 80, nilai yang sangat langka setelah hampir satu
semester ini. Boro-boro muji, beliau cuma bilang gini ‘Alhamdulillaah, semua
karena Allaah’. Ya iyya lah karena Allaah, tapi paling tidak beliau
mengapresiasi kerja kerasku, perjuanganku yang berdarah-darah. Barusan, aku
tanya lagi sama beliau, apakah aku diijinkan mendaftar klub futsal, karena hari
ini adalah penutupan pendaftaran. Bukan menjawab pertanyaan malah meninggalkanku
tanpa sepatah kata pun.
Aku
masih terdiam memandangi layar laptopku, beberapa data yang dibutuhkan untuk
pendaftaran klub futsal sudah kuisi komplit, tinggal di-submit. Galau juga sih
karena belum dapet ijin dari Ayah.
“Lid,
sini deh...ayah mau cerita...” suara ayah mengagetkanku. Kuhampiri beliau yang
sedang duduk di ruang tengah.
“Ada
sebuah hikayat menarik, alkisah seorang raja yang telah berusia lanjut berniat
memberikan tahtanya kepada sang putra mahkota, namun ia masih ragu apakah sang
putra mahkota mampu memimpin kerajaannya. Oleh karena itu, sebelum putra
mahkota dinobatkan sebagai raja, sang raja mengutus putera mahkota untuk pergi
menemui seorang guru yang terkenal sangat bijak dan arif supaya putera mahkota
dapat belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik. Maka berangkatlah
putera mahkota menemui guru yang bijak tersebut. Sesampainya di tempat sang
guru, putera mahkota ditanya oleh sang guru bijak
‘Apa
yang hendak paduka pelajari?’
‘Aku
ingin belajar bagaimana menjadi raja yang bijak, guru’
Kemudian
sang guru bijak itu berkata ‘Pergilah ke hutan dan belajarlah mendegarkan
selama satu tahun di sana’ Kemudian putera mahkota berangkat ke hutan. Setelah
satu tahun berlalu, putera mahkota kemudian kembali menemui gurunya. Sang guru
kemudian bertanya lagi,
‘Apa
yang paduka pelajari selama di hutan?’
‘Aku
belajar mendengarkan, guru’jawab sang putra mahkota.
‘Apasaja
yang paduka dengarkan?’
‘Aku
mendengarkan suara berbagai macam binatang, mendengarkan daun dan ranting pohon
yang tersapu angin, air sungai yang mengalir, hujan yang menimpa pucuk-pucuk
pohon, embun yang bergulir di pagi hari…’
‘Baiklah,
kalau begitu tinggallah setahun lagi di hutan dan dengarkan dengan seksama apa
yang paduka alami’
Meski
dengan berat hati dan tanda tanya yang besar di benaknya, akhirnya putera
mahkota kembali ke hutan. Setahun kemudian ia kembali menemui gurunya
‘Guru,
aku telah mendengarkan banyak hal’ ujarnya.
‘Ceritakan’
‘Aku
telah mendengar bagaimana burung-burung membantu pohon untuk berbuah, mengapa
air sungai mengalir dari hulu ke hilir yang lebih dangkal, matahari yang panas
ternyata mampu mengumpulkan hujan, serta bagaimana udara malam berubah wujud
menjadi buliran embun yang indah…’
‘Kalau
begitu, kini paduka telah memahami hakikat kepemimpinan…’ ucap sang guru seraya
tersenyum” Ayah mengakhiri ceritanya, dengan tanda tanya di benakku.
“Trus,
Yah...?”tanyaku penasaran.
“Cerita
itu adalah tafsiran dari surat An Nahl ayat 65”
Aku
manggut-manggut, masih tidak mengerti. Kemudian ayah melanjutkan kalimatnya.
“Ayah
tahu kalau kamu pasti mendongkol sama ayah, kan? Ayah mendengarkan semua yang
kamu ucapkan kok, nak. Mendengar dan mendengarkan itu berbeda. Kalau mendengar,
ya hanya sampai di telinga saja, setelah itu mungkin dilupakan. Kalau
mendengarkan, tidak cuma pakai telinga, tetapi juga harus pakai hati. Itulah kenapa,
ketika kamu berkata bahwa kamu akan mendaftar jadi anggota klub futsal, ayah
hanya diam. Karena ayah masih berpikir. Tidak mudah untuk memutuskan apakah itu
boleh atau tidak. Yang pasti, ayah hanya ingin mengajarkan kamu untuk
bertanggung jawab dan konsisten dengan apa yang akan kamu jalani. Ayah dan Mama
tidak mau sekolahmu terbengkalai karena futsal. Menuntut ilmu itu hukumnya
wajib”
Fiuuuh...akhirnya...
“Olah
raga kan juga ilmu, Yah? Ada hadistnya lo...”
“Betul,
tetapi akan lebih utama apabila kamu menuntut ilmu yang tidak hanya bermanfaat
untuk duniamu, tetapi juga untuk akhiratmu” tukas Ayah.
Oke.
Sepertinya keputusan sudah dibuat. Aku paham betul bagaimana ayahku
menyampaikan maksudnya. Beliau tidak benar-benar melarangku, tapi juga tidak
sepenuhnya mengijinkanku. Ini adalah cara beliau mengajariku untuk berpikir
sekaligus bertindak. Memberikanku kepercayaan untuk menentukan keputusan
penting dalam hidupku.
Jujur
saja ada sedikit kecewa, tetapi Ayah telah memberikan alasan yang masuk akal. Terlepas
dari ketakutanku menjadi anak yang durhaka, aku lebih takut lagi ketika nanti
aku benar-benar tidak bisa memenuhi janjiku pada ayah: bertanggung jawab.
Bukannya ridho Allaah dari ridho orang tua?
Kubuka
kembali website pendaftaran klub futsal. Kuarahkan kursor mouse pada bar: “CANCEL”.
Klik. Data aborted.
No comments:
Post a Comment