[Surabaya, jam 06.07 wib]
Pagi ini saya
akan mampir ke PMI Embong Ploso untuk donor darah. Sudah hampir 8 tahun ini
saya menjadi salah satu pendonor tetap, ya walaupun tidak rutin. Tapi dalam kurun
waktu setahun selalu saya usahakan bisa donor. Bagi saya, donor itu salah satu
cara saya ‘bersih-bersih’ badan, selain mandi, tentunya. Darah itu ibarat air
tubuh. Tidak cuma air aquarium dan bak kamar mandi saja yang harus ‘dikuras’,
darah dalam tubuh juga perlu diperbarui supaya lebih sehat dan bersih. Dengan
‘mengeluarkan’ darah yang ada dalam tubuh kita, maka akan menstimulasi produksi
sel-sel darah yang baru. Dengan demikian dapat mengurangi risiko hemocromatosis
(penyerapan zat besi yang berlebihan), lebih menyehatkan jantung, dan hati.
Satu hal lagi, mencegah obesitas!
Seperti biasa,
setelah mengisi formulir donor, saya pun diminta menimbang berat badan, cek
tensi, dan cek Hb. Tensi yang terlalu rendah atau Hb kurang dari 12,5 adalah dua
hal itu yang bikin saya tertolak untuk donor. Tapi alhamdulillah tidak untuk
kali ini. Setelah menunggu kurang lebih selama 10 menit, akhirnya mbak Maya,
salah satu petugas yang saya kenal, mempersilakan saya untuk berbaring dan
dengan cekatan menyiapkan peralatan medisnya. Karena berat badan saya hanya 46
kg, darah yang bisa saya donorkan hanya 250 cc. Tapi semoga bisa bermanfaat
untuk siapa pun yang membutuhkan.
Jika banyak
yang bilang, bahagia itu sederhana, demikian juga berbuat baik, tidak perlu
ngoyo, banyak jalan yang bisa dilakukan untuk memperoleh pahala. Bagi yang
banyak duit dan harta, sah-sah saja membangun masjid dan menyantuni puluhan
bahkan rastusan dhuafa. Sedekah itu tidak harus dengan harta, bukan? Menolong
orang tidak harus dengan materi. Satu hal, berbuat baik itu sifatnya sangat
personal.
Bukankah setiap amal perbuatan itu tergantung
dari niatannya?
Saya masih
terus mengamati aliran darah saya yang mengaliri selang di lengan kanan saya
menuju kantung yang semakin lama semakin menggembung. Mungkin demikian juga
dengan aliran dosa-dosa saya saat ini.
Dan balasan bagi tiap-tiap orang pun tergantung
dari apa yang diniatkan, bukan?
Seringkali kita
terlena ketika kita melakukan sebuah kebaikan untuk orang lain, tetapi kita tidak pernah
menyadari bahwa masih ada sebongkah kebusukan yang menempel dalam urat syaraf
kita, di tempat yang paling dekat dengan kita, dalam diri kita. Sudahkah kita
berbuat baik untuk diri kita? memberikan hak untuk jiwa dan ragawi kita?
Sudahkah kita
makan dengan teratur dan mengkonsumsi makanan yang baik? Apakah sholat kita
telah tepat waktu? Jam berapa kita tidur dan istirahat setiap harinya? Mengapa
kita masih terus tidak memberikan toleransi pada mata kita padahal sudah lebih
dari 12 jam terkena radiasi komputer? Pernahkah terpikir bahwa organ tubuh yang
paling menderita ketika kita memaksa diri kita terjaga 24 jam non stop adalah
hati?
Setan mengalir
dalam aliran darah manusia. Mereka tidak pernah berhenti menjerumuskan kita
sampai kita mati. Jika kita terus membiarkan keburukan mengaliri diri kita,
maka jangan pernah berharap kita akan mati dengan membawa kebaikan. Demikian
pula sebaliknya. Berbuat baik kepada orang lain itu penting, tetapi tidak
lantas menafikan berbuat baik kepada diri sendiri.
Masih ingat bunyi
hukum Pascal? bahwa tekanan yang diberikan oleh zat cair dalam ruang tertutup
akan diteruskan ke segala arah dengan tekanan yang sama besar. Maka dengan
demikian kita harus mengalirkan sederas mungkin aliran ‘darah kebaikan’ dan
jangan pernah berhenti agar tidak ada ruang bagi setan mengalirkan ‘darah kejahatan’. Baik saja tidak cukup. Butuh
tekanan. Paksaan. Kebaikan pada awalnya harus dipaksakan. Karena jika kita
tidak memaksakan diri untuk berbuat kebaikan, maka kita akan dipaksa untuk
berbuat keburukan. Kebiasaan dalam segala hal membutuhkan latihan, ketekunan,
dan kesabaran barulah menjadi bagian dari keseharian kita.
Tidak ada balasan bagi kebaikan melainkan
kebaikan. (QS. 55:60)
No comments:
Post a Comment